Kamis, 02 Maret 2017

Biografi Ibnu Thufail



A.                BIOGRAFI IBN THUFAIL
Nama lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar ibnu Abd Al-Malik ibn Muhammad ibnu Thufai.  Ia dilahirkan di Guadix (Arab : Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. dalam bahasa latin Ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer.[1]
Pada masa khalifah Abu Yaquf Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Pada pihak lain, khalifah sendiri mencintai ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah peminat filsafat serta memberi kebebasan berfilsafat. Sikapnya itu menjadikan pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran filosofis dan membuat Spanyol, seperti dikatakan R. Briffault sebagai “tempat kelahiran kembali negeri Eropa”.[2]
Pada mulanya Ibnu Thufail aktif bekerja sebagai dokter dan pengajar, lalu ia beralih profesi sebagai sekretaris pribadi penguasa Granada. Pada tahun 549 H/1154 M, ia dipercaya sebagai sekretaris gubernur wilayah Ceuta dan Tengier (Maroko), sedang gubernur itu merupakan putra  Abd al- Mukmin, seorang pendiri Daulah Muwahhidun yang berpusat di Marakesy, Maroko. Pada tahun 558 H/1163 M, ia di tarik ke Marakesy dan diangkat sebagai hakim sekaligus dokter untuk keluarga istana Abu Yakub Yusuf yang memerintah pada tahun 1163-1184 M. Ibnu Thufail sempat memperkenalkan Ibnu Rusyd kepada Abu Ya’kub Yusuf pada tahun 1169 M. Bermula dari perkenalan itu, Abu Ya’kub Yusuf menyarankan Ibnu Rusyd lewat Ibnu Thufail agar mengulas karya-karya Aristoteles.
Kemudian ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dokter pemerintah pada tahun 578 H / 1182 M, dikarenakan usianya yang sudah uzur. Kedudukannya itu digantikan oleh Ibnu Rusd atas permintaan dari Ibnu Thufail. Tapi dia tetap mendapatkan penghargaan dari Abu Yaqub dan setelah dia meninggal pada tahun 581 H / 1185 M) di Marakesh  (Maroko) dan dimakamkan disana, Al-Mansur sendiri hadir dalam upacara pemakamannya.[3]
Namun bukan semua itu yang menjadikan nama Ibnu Tufail dikenang dalam sejarah Islam bahkan sejarah dunia. Kesibukannya di pemerintahan yang sedemikian padatnya membuat Ibnu Thufail kurang produktif dalam dunia tulis-menulis. Namun, beberapa tema sempat ditulisnya, misalnya kedokteran, astronomi,dan filsafat. Dari sekian buah karyanya, Risalah Hayy Ibnu Yaqzan fi Asrar al- Hikmah al- Masyriqiyah adalah yang termahsyur. Kitab ini mempersentasekan pemikiran inti Ibnu Thufail dalam ranah filsafat.
Hal itu di pertegas pula oleh Miguel Casiri yang menyebutkan dua karyanya yang masih ada  yaitu Risalah Hayy Ibnu Yaqzan dan Asrar Al- Hikmah Al- Masyriqiyah, yang disebut terakhir ini berbentuk naskah. Kata pengantar dari Asrar menyebutkan bahwa risalah itu hanya merupakan satu bagian dari Risalah Hayy Ibnu Yaqzan.
Rislah “Hayy ibnu Yaqzan (“kehidupan anak kesadaran”), di Barat dikenal sebagai: Philosophus Autodidactus) telah menorehkan tinta emas di atas lembaran sejarah sebagai salah satu karya paling berharga yang pernah ada di bidang filsafat.
Dalam mengarang buku ini Ibnu Tufail banyak terpengaruh filsafat Plato. Pemikiran-pemikiran filosofis Ibn Thufail ketika menulis buku ini telah mencapai taraf yang paling matang. Ditulisnya pemikiran-pemikirannya dalam bentuk novel alegori sembari menawarkan sebuah korelasi filsafat antara akal dan agama dalam pencarian kebenaran hakiki.

B.                 KARYA IBNU THUFAIL
            Sebagaiman dijelaskan di awal bahwa tidak banyak karya Ibnu Thufail, bahakan hanya satu yang tersisa sampai hari ini, yaitu Rislah Hayy Ibnu Yaqzan.
            Terdapat dua tulisan dengan judul Hayy Ibnu Yaqzan, yakni versi Ibnu Thufail dan Ibnu Sina. Namun, Ibnu Sina yang lebih dulu memakai judul tersebut, kendati versinya berbeda.[4]
            Dalam  rislah yang ditulis oleh Ibnu Sina, Hay ibn Yaqzan diukiskan sebagai seorang syekh tua yang ditangannya tergenggam kunci-kunci pengetahuan, yang ia terima dari bapaknya. Syekh tua adalah seorang pengembara yang dapat menjelajahi semua penjuru bumi, dan disebutkan bahwa Ibnu Sina bersama kawan-kawannya, dalam suatu perjalanan, berjumpa dengan syekh tua tersebut, dan terjadilah dialog. Syekh tua dengan nama Hay ibn Yaqzan dalam karya tulis Ibnu Sina itu merupakan tokoh simbolis bagi akal aktif, yang sselain berkomunikasi dengan para nabi, juga berkomunikasi dengan para filosof.[5]
   Seorang anak, yang ditinggalkan sendirian di suatu pulau, akhirnya ditemukan oleh seekor rusa yang kehilangan anaknya. Ketika umurnya semakin matang, timbul keinginannya yang luar biasa untuk mengetahui dan menyelidiki suatu yang tidak dimengertinya. Dia melihat bahwa binatang memiliki penutup tubuh alami dan alat pertahanan diri sehingga mampu menghadapi lingkungannya sedangkan dia sendiri tidak punya pakaian sebagai penutup tubuh dan juga tidak ada senjata untuk mempertahankan diri. Karena itu dia pertama-tama menutup tubuhnya dengan daun-daunan, kemudian dengan kulit binatang yang sudah mati serta menggunakan tongkat untuk pertahanan diri.
Secara berangsur-angsur dia juga mengenal akan kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Dia menemukan api yang dianggapnya sebagai gejala kehidupan. Kemudian dia tahu akan manfaat bulu binatang, tahu cara bertenun, dan mampu membangun sebuah gubuk untuk tempat tinggalnya. Rusa yang mengasuhnya, pengaruhnya semakin lemah, tua, dan akhirnya mati. Terhadap kejadian ini timbul keinginannya untuk mengetahui rahasia kematian. Maka tubuh binatang itu pun dibelahnya untuk mengetahui apa yang terdapat di dalamnya. Dari penyelidikiannya secara cermat diketahui bahwa penyebab kematian karena tidak berfungsinya jantung sehingga roh keluar dari tubuh. Karena itu kematian pada dasarnya karena tidak ada persatuan jiwa dengan tubuh, walaupun yang mati itu tubuhnya nampak masih utuh. Dia meneruskan studinya dengan mempelajari tentang logam, tumbuh-tumbuhan, dan bebagai ragam jenis binatang. Dia juga dapat menirukan bunyi binatang yang ada disekitarnya.
Setelah itu dia mengarahkan perhatiannya pada fenomena angkasa dan keanekaragaman bentuk. Dalam keanekaragaman tersebut ternyata terdapat keseragaman yang pada hakekatnya adalah satu. Akhirnya dia berpendapat bahwa di belakang yang banyak itu terdapat asal yang satu, punya kekuatan tersembunyi, unik, suci, dan tak dapat dilihat. Inilah yang disebutnya penyebab pertama atau pencipta dunia ini.
Kemudian dia merenungkan tentang keadaan dirinya, caranya memperoleh pengetahuan sehingga akhirnya dia mendapat pengertian tentang makna substansi, komposisi, materi, bentuk, jiwa dan keabadian jiwa. Dia juga memperhatikan sungai yang mengalir dan menelusuri asal usul air tersebut. Dari situ diketahuinya bahwa pada dasarnya air tersebut berasal dari suatu sumber yang sama. Dia mengambil kesimpulan bahwa manusia pun asal usulnya adalah satu. Perhatian selanjutnya ditujukan kepada langit, gerakan bintang, peredaran bulan, serta pengaruhnya pada dunia. Dari situ nampak adanya keindahan, ketertiban, dan tanda-tanda penciptaan. Dalam hal tingkah lakunya terhadap lingkungannya, Hayy berusaha menghindari untuk membunuh binatang, memakan hanya buah yang masak dan menanam bijinya agar dapat tumbuh dengan baik. Dia juga memakan sayur-sayuran namun tidak makan daging binatang kecuali keadaan memaksa.
Dari pengamatan yang bersifat phisik yang mengunakan argumen logis dan eksperimen objektif dia beralih sebagai pencari Tuhan melalui perenungan rohani. Karena menurut dia alam semesta ini merupakan pencerminan Tuhan.
Dalam pencariannya tentang wujud Tuhan itu akhirnya dia berhasil yang dianggapnya itulah objek pengetahuan tertinggi. Tujuan akhir mencari kebenaran adalah dengan jalan pemusnahan diri atau penyerapan dalam Tuhan (fana) yang berujung pada kehidupan mistik. Namun dia tidak menyebut dirinya Tuhan karena Tuhan selalu membimbingnya ke jalan yang benar.
Di sebuah pulau yang lain, dekat dengan pulau dimana hayy bin yaqzan tinggal, terdapat penduduk yang memeluk agama dari nabi terdahulu. Namun pengetahuan mereka terhadap agama sangat dangkal dan tidak bersifat rohani. Namun terdapat dua orang, Asal dan Salaman, yang menonjol karena pemahamannya tentang agama. Salaman cenderung untuk memahami agama secara lahir sedangkan Asal lebih menyukai penghayatan secara ruhani. Karena itu Asal lebih suka menyepi untuk bermeditasi dan sembahyang dan bermaksud pindah ke pulau yang dikiranya tidak berpenghuni, dimana Hayy menetap.
Walaupun pada awalnya mereka tidak saling mengenal tapi akhirnya terjadi suatu persahabatan yang akrab. Asal berhasil mengajar Hayy agar dapat berbicara sehingga terjadi tukar menukar pengetahuan diantra keduanya. Dari pertukaran pikiran itu diambil kesimpulan bahwa penyelidikan dan pengalaman mistik yang telah didapatkan dan dialami oleh hayy bin Yaqzan tidaklah terlalu berbeda dengan agama yang didapatkan Asal melalui kitab Suci yang disampaikan Nabi. Kemudian Hayy beriman kepada agama yang dipeluk Asal.
Asal juga menceritakan kepada Hayy bin Yaqzan tentang keadaan penduduk dan pelaksanaan mereka terhadap pelajaran agama dimana sebelumnya Asal tinggal. Hayy menunjukkan perhatiannya dan ingin mengajak penduduk itu menuju jalan yang benar seperti telah didapatkannya. Namun ada sedikit ganjalan dihati Hayy tentang agama yaitu mengapa Tuhan memberikan gambaran-gambaran antropomorfis tentang agama sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dan apa perlunya ada ritual serta diberikannya kesempatan pada manusia untuk mencari kekayaan dan pemuasan kesengangan sehingga menimbulkan kesombongan.
Akhirnya Hayy dan Asal pergi ke pulau tersebut dan bertemu dengan Salaman. Dikemukakanlah maksud mereka berdua untuk memberikan pengajaran kepada penduduk berdasarkan apa yang telah mereka capai. Tapi ternyata baik Salaman maupun penduduknya kurang berminat terhadap penjelasan mereka yang cenderung bersifat ruhani dan mistik itu. Dari sini Hayy pun menjadi tambah yakin akan kebenaran Kitab Suci yang memberikan tamsil-tamsil dan gambaran yang masuk akal. Bagi yang berpikiran dangkal memang cocok dengan gambaran-gambaran Kitab Suci tersebut.
Kemampuan mereka hanya dapat memahami hal-hal yang bersifat lahir saja. Karena itu Asal dan Hayy pun mohon pamit untuk kembali dengan pesan perpisahan agar penduduk di situ berpegang teguh kepada Syara’ dan menjalankan agamanya dengan baik.


                [1] Sirajuddin. Zar, Filsafat Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2007), h. 205
[2] Ibid., ,h. 206
[3] Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997) ,h. 272
                [4] Amroeni Drajat, Filsafat Islam Buat Yang Pengen Tahu (Jakarta : Erlangga, 2006) ,h. 68.
                [5] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filsuf, dan Ajarannya (Bandung : Pustaka Setia, 2009) ,h. 213-214.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AKHIR SEBUAH CERITA

  "Sudah di pukul oleh kenyataan tapi tetap erat memeluk harapan."    Begitulah tulisan ini kumulai. Aku yang telah menumpahkan se...