Sebagai mana yang telah berulang ulang kita
dengar. Konon defenisi filsafat yang secara umum berasal dari Pythagoras yang
berarti philosophien, philos yang berarti pecinta dan shopien berarti
kebijaksanaan, maka secara sederhana filsafat adalah ilmu yang untuk mencintai
kebijaksanaan. Tapi ada sebuah pertanyaan yang menggelitik namun serius mesti
di jawab. Sebagai mana Aristoteles
mengharapkan Kebijaksaan itu bukan hanya harus berada di alam Idea. Tapi di
praktiskan. Maka pertanyaan itu berbunyi.
“ Bagaimanakah Kebijaksanaan Filsafat di atas
tempat tidur?”.
Rupanya, ruang jawab pertanyaan ini, adalah
philosophy of man. Filsafat manusia, etika dan moralitas. tapi manusia yang di
manakah yang tertuju. Meski kalimat filsafat manusia itu menuju kepada “man”. Mengapa bukan “Woman”. Maka pertanyaan
itu pun berakar dan kompleks. Menyentuh Tubuh perempuan. Karena di atas tempat
tidur, lelaki bersama dengan tubuh perempuan. Barulah relasi itu penuh dengan
libido kepuasan.
“Tapi siapakah yang memuaskan siapa?. Bagaimanakah
Filosof berelasi di atas tempat Tidur?”. Dan “ adakah perempuan itu juga dapat
bijak?”.
Jangan bilang ini tabu, karena sudah saatnya kita
menelanjangi filosof, orang yang berfilsafat. Sudah saatnya kita nyaman
berbicara tentang Eros, Seks dan Erotis. Namun Filsafat yang sudah Tua itu.
Memiliki beribu jawab tentang bagaimana Filosof dapat bijak di atas tempat
tidur, sedangkan dedengkot filsafat yakni Plato menganggap Tubuh Perempuan itu
sebagai yang tertuduh negatif. Atau Filsafat yang tidak memberikan ruang bagi
perempuan untuk menyebut dirinya sebagai seorang filosof. Seolah-olah Filsafat
itu hanya berjenis kelamin Laki-laki.
Plato
dan Aristoteles di atas tempat tidur.
Plato adalah filosof yang bijak secara idea,
sebuah bakat yang turun dari seorang guru bijak bernama Socrates yang lebih setia
kepada jiwa ketimbang tubuh. Jadilah Plato sebagai bujang lapuk yang tidak
pernah menikah. Sehingga di atas tempat tidur, tiada lain selain dirinya
sendiri yang menemani. Belakangan telah di ketahui, kesendirian itu adalah
akibat prinsip memandangi Jiwa adalah sesuatu yang tidak mati (athanatos). Dan tubuh (soma) sebagai semi
(kuburan) yang jatuh kepada hal-hal indrawi saja. jiwa lebih tinggi dari pada
tubuh. Begitu suara pekik plato yang terdengar ke telinga Aristoteles.
Dalam karyanya Politics, Aristoteles menggambarkan
secara alamiah tentang konsep hirarki yang menurutnya secara wajar terdapat
hirarki tuan atas budak, suami atas istri, pikiran atas tubuh, manusia atas
alam. Dasara pemikiran hirarki inilah yang membawanya pada kesimpulan biologi
reproduksi bahwa perempuan makhlukh pasif, bentuk material yang hanya bisa
menerima Sperma. Atau dengan jelas Aristotles berkata jika tubuh perempuan
adalah makhluk laki-laki yang tak sempurna. Jadilah perempuan itu terbentuk
sebagai pemuas nafsu dari laki-laki. Dan itu memojokkan perempuan di atas
tempat tidur. Masih kah filosof bijak di atas tempat tidur. Bagaimana posisi
sosial perempuan di atas tempat tidur.? Pemuas nafsu sajakah?.
Dibawah
Tempat tidur . Perempuan tetap tersudut.
Bagi Descartes untuk menjadi makhluk rasional
artinya orang harus memisahkan diri dari rasa kebutuhan, kegairahan, dan yang
berhubungan dengan ketubuhan. Hanya dengan cara demikian, pengetahuan yang
murni dapat di capai seperti ilmu pengetahuan, matematika, dan filsafat.
Pemisahan yang telak antara rasio dan tubuh dari
Descartes mempolarisasakian atau membentuk karakter laki-laki sebagai makhluk
rasional dan perempuan sebagai makhluk emosional. Sedang dalam Summa
teologianya Aquinas. Perempuan di atas tempat tidur adalah bernafsu dan penuh dengan kegairahan. Pada abad 16
sampai 17. Perempuan di buruh kemudian di bakar karena di curigai sebagai ahli
sihir.
Ada
sedikit kebijaksanaan di atas tempat tidur.
Roessau berusaha menjadi “makcomblang” untuk
mengawinkan antara rasio dan emosi. Usaha itu di bahas dalam buku seksinya
berjudul Emile. Dengan resonansinya yang berbunyi “ Amour de soi”/kenalilah
dirimu. Ia percaya bahwa membangun sebuah masyarakat yang baik harus
memiliki kedua unsur tersebut. dalam
mencapai tujuan pendidikan untuk membentuk “manusia yang unik” Perempuan harus
sejajar dengan laki-laki.
Namun jika sudah di atas tempat tidur. Roessau
menghadirkan Non sense!. Tiba-tiba, Laki-laki berbeda dengan perempuan. “ bila
perempuam di ciptakan untuk melayani laki-laki maka ia harus berusaha untuk
memantaskan dirinya lebih dapat di terima. Bersikap rendah hati, dan bernilai
di mata orang.” Begitulah Roessau kelihatannya rancu berkata.
Dan tetap saja kebijaksanaan ini hanya berlaku
untuk maskulin saja. dan perempuan tetap mesti harus memantaskan diri sebagai
makhluk second.
Filosof
kontemporer butuh perempuan di atas
tempat tidur.
Menguaknya jalinan cinta antara Filosof besar Jean
Paul Sartre dan Simon de Beauvior dan surat menyurat di antara mereka yang
terbaca sangat mesra dan vulgar. Sartre begitu butuh kehangatan tubuh de
Beauvoir. Atau bahasa penyair yang sedang jatuh cinta. “aku tidak bisa hidup
tanpamu”. Dengan bendera kebebasan seksual. Mereka berdua mesra di atas tempat
tidur. Tapi merebak kemudian kontroversi. Ketika Sartre besar dengan karyanya
Being and Nothingness, ia tidak menyebut nama de Beauvoir yang tentu sangat
berjasa. Ada penghianatan terselubung di sana. Ketika di tanya perihal
tersebut. de Beauvoir, tak menjawab dan menjelaskan hingga ia menutup matanya.
Tak beda jauh juga hubungan kontroversi antara
seorang dosen dan mahasiswinya. Antara filsuf Heidegger dan Hannah Arendt. Yang
kemudian menjadi sebuah di lema, pada saat Heidegger memihak Nazi. Sedang
Hannah Arendt adalah penganut Yahudi.
Filsafat
harus adil di atas tempat tidur.
Setiap orang pasti membenci ketidak adilan, dan
filsafat sebagai ilmu yang mencintai kebijaksanaan mesti pula berurusan dengan
keadilan. Dalam bahasa moralitas kant. Keadilan adalah postulat yang mesti di
raih manusia. atau bagaimanakah mencapai kebijaksanaan jika tak ada keadilan.
Maka dari pada itu. Kita mesti harus berani membawa filsafat kemanapun sampai
kepada hal yang sangat privat, sekalipun di atas tempat tidur. Baik sedang dalam
keadaan berpakaian atau sedang telanjang bulat. Filsafat sudah harus cerewet
untuk membicarakan masalah tubuh, memeluk erotis dan kita nyaman membicarakan
pantat, payudara dan kelamin perempuan, serta peranannya dalam tatanan sosial.
Melihat pantat,payudara dan kelamin perempuan bukan sebagai melihat majalah
porno. harus bijak diartikan filsafat
sebagai etos pencarian terus menerus dapat membentuk konsep seks, gender,
seksualitas, perbedaan seksual, keadilan gender, kepuasana suka sama suka.
And now, seberapa nyamankah kita telah
membicarakan seks di dalam kelas dan ruang diskusi.?. dan itulah pertanyaan
pamungkasnya. Dan ini belum selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar